Stagnan Yang Menenangkan

Hari ini, kemarin, besok, selalu sama. Atau setidaknya hampir mirip.

Alarmku berdering pukul 06.00 pagi. Waktunya untuk pergi ke toilet tuk memenuhi apapun itu di sana. Setelahnya aku bersiap di kamarku. Sekitar pukul 06.30-06.45, Aku sudah duduk di atas jok motorku dengan rute kantorku ke Jakarta. Kalau senin atau rabu, pada jam 07.02 aku akan berdiri menunggu kereta bersama ratusan orang lain di salah satu stasiun LRT.

Hari-hari di kantor pun tak jauh berbeda. Pekerjaan yang cenderung stagnan dan berulang. Membosankan. Tak jarang isu-isu sepele hasil kecerobohanku, rekan kerja, atau eksternal yang memaksaku perlu terlibat di dalamnya malah kunikmati dengan hati yang (terlalu) lapang. Karena seringnya, hanya itulah hiburan yang tersisa. 

Aku merasa cukup bisa diandalkan pada pekerjaanku, dan kini aku merasa siap untuk melakukan lebih. Namun rasanya, seperti ada pembatas yang menahanku agar tidak melaju lebih jauh atas apa yang aku mau.

Dan omong-omong tentang keinginan, memangnya jalur ini yang kuinginkan?

Mau dan bisa barangkali adalah dua hal yang berbeda. Aku bisa ditahap ini bukan berarti aku benar-benar menginginkannya sejak awal. Tak terbayang 3 tahun ke belakang aku bermimpi berada pada industri ini. Dan yang kumau sejak awal, justru belum benar-benar terwujud.

Tapi tak apa..

Karena aku baik-baik saja.

Barangkali Tuhan telah memilih dan memilah jalan yang terbaik untukku hingga aku bisa ada di sini sekarang. Boleh jadi, ratusan atau bahkan ribuan doa yang dipanjatkan olehku dan orang-orang yang sayang padakulah yang membuatku bisa berada di titik ini dan mampu menulis tentang hal ini.

Aku teringat pada teori hierarki kebutuhan Maslow. Aku percaya kita sebagai manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidup kita. Dan pada kasusku, aku merasa telah berada pada tahap pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri.

Yang artinya, aku (hampir) punya segala yang kubutuhkan.

Aku beruntung aku telah memenuhi segala kebutuhan lain hingga aku dapat fokus pada kebutuhan hierarki tertinggi. Tidak semua orang cukup beruntung untuk dapat sekadar mencecap rasa itu. Bermimpi tinggi, keinginan muluk-muluk, rasanya bagaikan kemewahan.

Aku ingat rasanya ketika tidak memiliki salah satunya. Perasaan terancam. Ketika rasanya tak ada yang bisa dibanggakan dalam hidup. Saat dunia seakan tak berpihak pada kita. 

Namun untuk sekarang, rasanya segalanya cukup. Punya pekerjaan, keluarga yang lengkap dan penuh kasih, serta kawan erat. Segalanya terasa baik-baik saja. Cukupan untuk bertahan dan berjuang untuk hidup yang lebih baik kedepannya.

Stagnan yang menenangkan rasanya jauh lebih tentram dibanding keinginan yang membawa ancaman.

Setidaknya untuk sekarang.

24 Maret 2025


Komentar

Tinggalkan komentar