Kebebasan Semu

Ada kalanya lama aku tak menulis. Membuatku rindu sekaligus sedih karena terkadang jika aku menulis lagi artinya sedang terjadi sesuatu dalam diriku. Pikiranku. Dan, tidak selalu itu pertanda baik.

Adalah rasa. Ibarat bahasa, rasa perlu didekripsi lewat pendeskripsian raga. Seperti rasa manis dan pahit lewat lidah, lembut dan keras lewat sentuhan, juga lirih dan dentum lewat telinga.

Rasa tak melulu berbicara lewat raga. Terkadang, rasa yang bercerita lewat hati seringnya lebih terasa sekaligus tak kasat mata. Seringkali kita berbahagia atau berduka tanpa terencana. Membekas tanpa meninggalkan tanda. Membuat kita sering kecele oleh momen yang bisa jadi adalah momen sekali seumur hidup.

Karenanya, tiap orang punya caranya sendiri untuk ‘mengalbum’ rasa-rasa dan momen itu. Sebagai refleksi atau sekadar mengingat-ngingat kembali. Menulis menjadi media untukku memberi jangkar dan tanda bahwa aku pernah melewati masa dan rasa itu.

Aku suka menulis. Bahkan cinta. Namun, menulis butuh bahan bakar rasa agar bisa tertuang menjadi satu karya. Ironisnya, rasa paling dominan yang sering kupakai adalah duka. Dan, lagi-lagi itu menjadi tanda bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

Jika merasakan cinta perlu duka, bukankah itu terasa bagai kebebasan semu? Apakah bayarannya sepadan?

Ada yang bilang cinta memang perlu pengorbanan. Seakan-akan cinta tidak bisa berdiri sendiri dan menjadi anti dari kata kebebasan. Merdeka. Lagi-lagi ironis karena aku menulis ini di bulan dengan tema kemerdekaan.

Sekali lagi aku berharap, cinta tanpa syarat dapat kuwujudkan. Yakni cinta dalam arti segala-galanya.

14 Agustus, 2024


Komentar

Tinggalkan komentar