Halimun tipis menghalangi destinasi. Gaung pesimis turut serta mendominasi. Bukan berarti menegasi apa yang kucari. Tak harus kini, barangkali nanti?
Karena masih kulihat jelas, bergeming.
Perkaranya, siapa menunggu siapa?
Siapa menunggu apa?
Satu persatu misteri bermanifestasi. Perwujudan beban, mengendap dalam pikiran. Bersikeras dalam kepala tuk kerasan sampai entah kapan.
Apakah ketidaktahuan ini mengusik rasa kemelitan?
Halimun yang sama kini tak ada beda dengan kelabu di atas sana. Jikalau mentari umpama asa, adakah setipis itu ibarat kelambu yang menutup euforia yang fana?
Satu per satu ekspektasi muncul. Ekstase yang membanjur energi semu tuk maju lebih jauh. Sebagian bahkan mengklaim sebagai intuisi. Dan, jika nantinya tak terbukti, siapa yang sudi mengaku khilaf?
Kendati usaha tiada khianati hasil, apalah artinya jika tak ada daya? Usaha akan lebih berasa ketika wujudnya nyata. Jikalau hanya mengira-ngira, tak lebihkah ia dari sekadar fatamorgana?
Namun tungkai ini terkunci. Menunggu sanubari yang sibuk berkilah ria seraya tak berdaya melihat tirai tipis itu perlahan bertransformasi. Tak ubahnya nimbus yang memupus surya asa. Memblokir total sisa-sisa pancarnya yang berusaha mencecap bumi.
Kalau sudah begini, apakah persistensi menjadi satu-satunya solusi? Ataukah sudah terlampau telat sedari tadi? Ke mana daya usaha yang meluap-luap tadi? Tak ubahnya sepoi musiman yang merasa dirinya topan.
Meski demikian, halimun sekalipun tak akan mampu menggeser apa pun atau siapa pun yang bergeming di baliknya.
Tinggalah tersila raga cari cara tuk menjemputnya:
Sibak atau dobrak?
Karena kabut tidak lagi buatku takut..
… Seharusnya.
Maret 2024


Tinggalkan komentar